Home

Media Informasi Seputar Arsitektur

Wednesday, April 20, 2016

RUMAH ADAT BALI

Rumah adat Bali
(gapura candi)
Adat Istiadat 

Adat Istiadat
Dalam asta kosala-kosali disebutkan bahwa aturan-aturan pembuatan sebuah rumah harus mengikuti aturan aturan anatomi tubuh sang empunya pemilik rumah dengan dibantu sang undagi sebagai pedanda atau orang suci yang mempunyai kewenangan membantu membangun rumah atau pura. Dan terdapat ukuran-ukuran atau dimensi yang didasarkan pada ukuran atau dimensi yang didasarkan pada ukuran jari-jari si pemilik rumah yang akan menempati rumah tersebut. Seperti Musti, yaitu ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas. Hasta untuk ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangan sampai ujung jari tengah yang terbuka. Depa untuk ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan.
Pola Kampung (Pola Pemukiman)
Pola mukiman adat Bali memiliki tipelogi yang berangkat dari tatanan tradisi yang berdasarkan adat dan kepercayaan (Hindu). Secara tradisi terdapat wujud tipelogi dari tingkat regional Bali sampai pada unit-unit hunian sebagai tempat bermukim. Bentuk tipelogi yang paling utama ditentukan oleh adanya konotasi yang bersifat dualistik antara profan dan sakral yang diterjemahkan dalam wujud fisik dengan adanya area hulu (luan) dan hilir (teben).
Tipelogi pola mukiman adat Bali dikenal sebagai mukiman yang mewadahi suatu masyarakat yang cukup ketat berpegang dan mengamalkan unsur-unsur sistem budayanya, terutama unsur kepercayaan atau religi dengan segala nilai, kaidah, norma dan aturan-aturannya. Unsur kepercayaan ini merasuk pula ke dalam pola mukimannya sebagai salah satu unsur lingkungan budayanya. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya bermacam-macam pandangan yang terakumulasi dalam suatu konsep yang dapat dijabarkan dalam berbagai norma dan aturan terhadap pola dan orientasi mukiman sesuai dengan idealisme masyarakatnya
Falsafah dan Konsep Pemukiman di Bali
1. Falsafah
Falsafah hidup masyarakat Bali didasarkan atas agama (Hindu) yang terdiri dari tattwa, susila, upacara. Falsafah (tattwa) sebagai lapisan yang paling dalam dari agama Hindu berasal dari kata “tat” artinya itu, dan “twa” artinya hakekat atau sifat. Pemahaman falsafat (tatwa) dilakukan untuk dapat lebih memahami pengetahuan kebenaran yang didalam ilmu pengetahuan disebut filsafat. Filsafat dipelajari dengan kemampuan ratio dan intuisi sampai kebenaran dapat dirasakan. Menurut tattwa dalam wujud tunggalnya, Tuhan (Hyang Widhi) itu terdiri atas cetana (purusa) dan acetana (pradana), yang merupakan benih unsur-unsur kejiwaan dan benih unsur-unsur kebendaan. Cetana, dimana benih unsur-unsur kejiwaan yang
memberikan kesadaran atau kekuatan hidup hukum alam beserta isinya, dan paratma-atma sebagai sumber hidup. Acetana, adalah hukum kodrat yang memberi hidup dan yang menyebabkan segala sesuatu dalam alam semesta menjadi ada dan bergerak. Terwujudnya alam ini adalah hasil bersatunya cetana dan acetana, yang tidak berawal dan tidak berakhir. Ia langgeng dan abadi.

Dalam Majelis Pembinaan Lembaga Adat secara filosofis, alam semesta ini diciptakan melalui suatu proses yang terdiri dari unsur panca tan matra. Unsur-unsur ini muncul dari benih pada materi (prakerti), dan prakerti itu muncul dari pradana tattwa yaitu kekuatan magis dari Hyang Widhi. Panca tan matra terdiri dari gandhatanmatra, rasatanmatra,rupatanmatra, sparsatanmatra, dan sabdatanmatra. Kelima unsur tersebut secara evolusi berubah menjadi unsur-unsur benda yang disebut panca maha bhuta yang terdiri dari: pratiwi (unsur zat padat), apah (unsur Zat cair), teja (unsur sinar), bayu (unsur udara), akasa (unsur ether). Panca maha bhuta itulah yang menjadi bahan alam, dan juga menjadi bahan jasmani atau badan wadah mahluk hidup.
Paparan diatas mengambarkan pemahaman filsafat sebagai pandangan hidup yang memiliki nilai hakiki. Bagi masyarakat Bali (Hindu) cerminan filsafat selalu diusahakan dalam berbhuana termasuk mewujudkannya dalam pola-pola permukiman adati Bali. Pengertian berbhuana tersebut sebagai usaha bagaimana mendudukkan diri manusia (bhuana alit) memiliki hubungan harmonis dengan alam (bhuana agung).
2. Konsep
Konsep bermukim masyarakat Bali adalah harmoni dan religiusitas, dimana nilai-nilai religius merupakan hal utama. Seluruh emosi keagamaan dalam perilaku kehidupannya diaplikasikan dalam wadah sebagai tempat bermukim. Dengan berpegang pada kepercayaan (srada) dan pengorbanan suci (yadnya) yang setiap harinya menampakkan kehidupan yang penuh religius. Nilai religius terkandung dalam religi dan simbol, dan hal tersebut dapat dilihat dalam hubungannya dengan manifestasi Tuhan (Hyang Widhi) dalam berbagai penjuru alam yang merupakan simbol religi yang menggambarkan manifestasi Tuhan dalam wujud bhatara lengkap dengan atribute serta saktinya, senjata, warna, urip serta posisinya di alam semesta menurut arah mata angin
Simbol ini dalam bermukim merupakan pedoman dalam bersikap dan mewujudkan wadah sebagai tempat bermukim dengan mendudukkan sakral dan profan secara benar. Secara fisik orientasi ke arah sakral dilakukan dari tata cara menyusun pola tata ruang, tata bangunan sampai penggunaan bahan bangunan. Misalnya, arah timur laut (kaja kangin) tempat stananya Bhatara Sambu dengan saktinya Mahadewi, merupakan orientasi yang sakral (utamaning utama). Tuhan dalam manifestasinya sebagai Bhatara Tri Sakti (Brahma, Wisnu, Siwa) yang bermakna religius menggambarkan manifestasi kekuatan Tuhan sebagai pencipta, pemelihara, pelebur yang secara fisik manifestasiNya di stanakan pada tiga tempat suci dalam wilayah desa berupa Pura Tri Khayangan (Puseh, Desa, Dalem). Dalam pola bermukim, prinsip-prinsip hirarkhi ruang memaknai tempat-tempat yang disucikan (sakral) berlaku menyeluruh. Menurut Alit dalam menata lingkungan dari unit terkecil (umah), perumahan (pawongan), tempat bermukim (desa pakraman) sampai tingkat regional Bali diatur secara berjenjang yang secara hirarkhis tersusun dalam katagori tiga-tiga bertingkat (utama, madya, nista).
Tata Ruang
Arsitektur Bali terutama arsitektur tradisional Bali adalah sebuah aturan tata ruang turun temurun dari masyarakat Bali seperti rontal Asta Kosala kosali Asta Patali, dll yang sifatnya luas meliputi segala aspek kehidupan masyarakat Bali. Ini pula yang mesti dipahami oleh arsitek Bali dalam merancang sebuah bangunan dengan memperhatikan tata ruang masyarakat Bali (arsitektur Bali).
Angkul-angkul yaitu entrance yang berfungsi seperti candi bentar padapura yaitu sebagai gapura jalan masuk.
Angkul-angkul biasanya teletakdi kauh kelod.
Latar atau halaman tengah sebagai ruang luar.
Pamerajan ini adalah tempat upacara yang dipakai untuk keluarga. Dan pada perkampungan tradisional
biasanya setiap keluarga mempunyai pamerajan yang letaknya di kaja kangin pada sembilan petak pola ruang.
Umah Meten atau bale daja yaitu ruang yang biasanya dipakai tidur kapala keluarga.
Bale tiang sanga atau bale delod biasanya digunakan sebagai ruang untuk menerima tamu.
Bale Sakepat atau bale dauh bale ini biasanya digunakan untuk tempat tidur anak-anak atau
anggota keluarga lain yang masih junior.
Bale Dangin biasanya dipakai untuk duduk-duduk membuat benda-benda seni atau merajut
pakaian bagi anak dan suaminya
Paon yaitu tempat memasak bagi keluarga, posisinya berada pada kangin kelod.
Lumbung sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen, berupa padi dan hasil kebun lainnya.
Struktur dan Konstruksi
Sistem konstruksi pada arsitektur tradisional Bali mempertimbangkan konsep yang dinamakan tri angga, yaitu sebuah konsep hirarki dari mulai nista, madya dan utama. Nista menggambarkan suatu hirarki paling bawah suatu tingkatan, yang biasanya diwujudkan dengan pondasi bangunana atau bagian bawah sebuah bangunan sebagai penyangga bangunan diatasnya. Atau bila dalam tiang kolom. Materialnya dapat terbuat dari batu bata atau batu gunung. Batu bata tersebut tersusun dalam suatu bentuk yang cukup rapi sesuai dengan dimensi ruang yang akan dibuat padanpermukaan batu bata atau batu gunung dibuat semacam penghalus sebagai elemen leveling yang rata. Atau merupakan plesteran akhir. Nista juga digambarkan sebagai alam bawah atau alam setan atau nafsu. Madya adalah bagian tengah bangunan yang diwujudkan dalam bangunan dinding, jendela dan pintu. Madya mengambarkan strata manusia atau alam manusia. Utama adalah symbol dari bangunan bagian atas yang diwujudkan dalam bentuk atap yang diyakini juga sebagai tempat paling suci dalam rumah sehingga juga digambarkan tempat tinggal dewa atau leluhur mereka yang sudah meninggal.
Pada bagian atap ini bahan yang digunakan pada arsitektur tradisional adalah atap ijuk dan alang-alang. Sistem konstruksi yang lain adalah system kelipatan dari tiang penyangga atau kolom terutama bangunan rumah tinggal atau bangunan umum.
Ada tiga buah sumbu yang digunakan sebagai pedoman penataan bangunan di Bali, sumbu-sumbu itu antara lain:
1 Sumbu kosmos Bhur, Bhuwah dan Swah (hidrosfir, litosfir dan atmosfir)
2 Sumbu ritual kangin-kauh (terbit dan terbenamnya matahari)
3 Sumbu natural Kaja-Kelod (gunung dan laut)
Dari sumbu-sumbu tersebut, masyarakat Bali mengenal konsep orientasi kosmologikal, Nawa Sanga atau Sanga Mandala. Transformasi fisik dari konsep ini pada perancangan arsitektur, merupakan acuan pada penataan ruang hunian tipikal di Bali
Rumah tinggal masyarakat Bali sangat unik karena rumah tinggal tidak merupakam satu kesatuan dalam satu atap tetapi terbagi dalam beberapa ruang-ruang yang berdiri sendiri dalam pola ruang yang diatur menurut konsep arah angin dan sumbu gunung Agung.
Hal ini terjadi karena hirarki yang ada menuntut adanya perbedaan strata dalam pengaturan ruang-ruang pada rumah tinggal tersebut. Seperti halnya tempat tidur orang tua dan anak-anak harus terpisah, dan juga hubungan antara dapur dan tempat pemujaan keluarga. Untuk memahamihirarki penataan ruang tempat tinggal di Bali ini haruslah dipahami keberadaan sembilan mata angin yang identik dengan arah utara, selatan timur dan barat.

No comments:

Post a Comment

Semoga Artikell Kami Bermanfaat,,,,,,,,,, Jagan Lupa Langganan dan Membagikan,,,,,,,,,!