RUMAH ADAT ACEH
1.Asal-Usul
Kepercayaan individu atau masyarakat dan kondisi alam di mana individu atau masyarakat hidup mempunyai pengaruh signifikan terhadap bentuk arsitektur bangunan, rumah, yang dibuat. Hal ini dapat dilihat pada arsitektur Rumoh Aceh, Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Indonesia. Rumoh Aceh merupakan rumah panggung dengan tinggi tiang antara 2,50-3 meter, terdiri dari tiga atau lima ruang, dengan satu ruang utama yang dinamakan rambat. Rumoh dengan tiga ruang memiliki 16 tiang, sedangkan Rumoh dengan lima ruang memiliki 24 tiang. Modifikasi dari tiga ke lima ruang atau sebaliknya bisa dilakukan dengan mudah, tinggal menambah atau menghilangkan bagian yang ada di sisi kiri atau kanan rumah. Bagian ini biasa disebut sramoe likot atau serambi belakang dan sramoe reunyeun atau serambi bertangga, yaitu tempat masuk ke Rumoh yang selalu berada di sebelah timur.
Kepercayaan individu atau masyarakat dan kondisi alam di mana individu atau masyarakat hidup mempunyai pengaruh signifikan terhadap bentuk arsitektur bangunan, rumah, yang dibuat. Hal ini dapat dilihat pada arsitektur Rumoh Aceh, Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Indonesia. Rumoh Aceh merupakan rumah panggung dengan tinggi tiang antara 2,50-3 meter, terdiri dari tiga atau lima ruang, dengan satu ruang utama yang dinamakan rambat. Rumoh dengan tiga ruang memiliki 16 tiang, sedangkan Rumoh dengan lima ruang memiliki 24 tiang. Modifikasi dari tiga ke lima ruang atau sebaliknya bisa dilakukan dengan mudah, tinggal menambah atau menghilangkan bagian yang ada di sisi kiri atau kanan rumah. Bagian ini biasa disebut sramoe likot atau serambi belakang dan sramoe reunyeun atau serambi bertangga, yaitu tempat masuk ke Rumoh yang selalu berada di sebelah timur.
Pintu utama Rumoh Aceh
tingginya selalu lebih rendah dari ketinggian orang dewasa. Biasanya
ketinggian pintu ini hanya berukuran 120-150 cm sehingga setiap orang
yang masuk ke Rumoh Aceh harus menunduk. Namun, begitu masuk, kita akan
merasakan ruang yang sangat lapang karena di dalam rumah tak ada perabot
berupa kursi atau meja. Semua orang duduk bersila di atas tikar ngom
(dari bahan sejenis ilalang yang tumbuh di rawa) yang dilapisi tikar
pandan.
Rumoh Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan
ekspresi keyakinan terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam. Oleh
karena itu, melalui Rumoh Aceh kita dapat melihat budaya, pola hidup,
dan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat Aceh. Adaptasi masyarakat
Aceh terhadap lingkungannya dapat dilihat dari bentuk Rumoh Aceh yang
berbentuk panggung, tiang penyangganya ang terbuat dari kayu pilihan,
dindingnya dari papan, dan atapnya dari rumbia. Pemanfaatan alam juga
dapat dilihat ketika mereka hendak menggabungkan bagian-bagian rumah,
mereka tidak menggunakan paku tetapi menggunakan pasak atau tali
pengikat dari rotan. Walaupun hanya terbuat dari kayu, beratap daun
rumbia, dan tidak menggunakan paku, Rumoh Aceh bisa bertahan hingga 200
tahun.
Pengaruh keyakinan masyarakat Aceh terhadap arsitektur
bangunan rumahnya dapat dilihat pada orientasi rumah yang selalu
berbentuk memanjang dari timur ke barat, yaitu bagian depan menghadap ke
timur dan sisi dalam atau belakang yang sakral berada di barat. Arah
Barat mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk membangun garis imajiner
dengan Ka‘bah yang berada di Mekkah. Selain itu, pengaruh keyakinan
dapat juga dilihat pada penggunaan tiang-tiang penyangganya yang selalu
berjumlah genap, jumlah ruangannya yang selalu ganjil, dan anak
tangganya yang berjumlah ganjil.
Selain sebagai manifestasi dari
keyakinan masyarakat dan adaptasi terhadap lingkungannya, keberadaan
Rumoh Aceh juga untuk menunjukan status sosial penghuninya. Semakin
banyak hiasan pada Rumoh Aceh, maka pastilah penghuninya semakin kaya.
Bagi keluarga yang tidak mempunyai kekayaan berlebih, maka cukup dengan
hiasan yang relatif sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali.
Seiring perkembangan zaman yang menuntut semua hal dikerjakan secara
efektif dan efisien, dan semakin mahalnya biaya pembuatan dan perawatan
Rumoh Aceh, maka lambat laun semakin sedikit orang Aceh yang membangun
rumah tradisional ini. Akibatnya, jumlah Rumoh Aceh semakin hari semakin
sedikit. Masyarakat lebih memilih untuk membangun rumah modern berbahan
beton yang pembuatan dan pengadaan bahannya lebih mudah daripada Rumoh
Aceh yang pembuatannya lebih rumit, pengadaan bahannya lebih sulit, dan
biaya perawatannya lebih mahal. Namun, ada juga orang-orang yang karena
kecintaannya terhadap arsitektur warisan nenek moyang mereka ini membuat
Rumoh Aceh yang ditempelkan pada rumah beton mereka.
Keberadaan
Rumoh Aceh merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai yang hidup dan
dijalankan oleh masyarakat Aceh. Oleh karena itu, melestarikan Rumoh
Aceh berarti juga melestarikan eksistensi masyarakat Aceh itu sendiri.
Ide pelestarian Rumoh Aceh akan semakin menemukan momentum pasca tsunami
yang menimpa Aceh pada taggal 26 Desember 2004. Pasca tragedi bencana
alam tersebut, beragam orang dari berbagai bangsa datang tidak hanya
membawa bantuan tetapi juga membawa tradisi yang belum tentu cocok
dengan nilai-nilai yang berkembang di Aceh.
2. Bahan-Bahan
Untuk membuat Rumoh Aceh, bahan-bahan yang diperlukan di antaranya adalah:
Kayu. Kayu merupakan bahan utama untuk membuat Rumoh Aceh. Kayu
digunakan untuk membuat tameh (tiang), toi, roek, bara, bara linteung,
kuda-kuda, tuleueng rueng, indreng, dan lain sebagainya.
Papan, digunakan untuk membuat lantai dan dinding.
Trieng (bambu). Bambu digunakan untuk membuat gasen (reng), alas lantai, beuleubah (tempat menyemat atap), dan lain sebagainya.
Enau (temor). Selain menggunakan bambu, adakalanya untuk membuat lantai dan dinding Rumoh Aceh menggunakan enau.
Taloe meu-ikat (tali pengikat). Tali pengikat biasanya dibuat dari tali ijuk, rotan, kulit pohon waru, dan terkadang menggunakan tali plastik.
Oen meuria (daun rumbia), digunakan untuk membuat atap.
Daun enau. Selain mengunakan oen meuria, terkadang untuk membuat atap menggunakan daun enau.
Peuleupeuk meuria (pelepah rumbia). Bahan ini digunakan untuk membuat dinding rumah, rak-rak, dan sanding.
Papan, digunakan untuk membuat lantai dan dinding.
Trieng (bambu). Bambu digunakan untuk membuat gasen (reng), alas lantai, beuleubah (tempat menyemat atap), dan lain sebagainya.
Enau (temor). Selain menggunakan bambu, adakalanya untuk membuat lantai dan dinding Rumoh Aceh menggunakan enau.
Taloe meu-ikat (tali pengikat). Tali pengikat biasanya dibuat dari tali ijuk, rotan, kulit pohon waru, dan terkadang menggunakan tali plastik.
Oen meuria (daun rumbia), digunakan untuk membuat atap.
Daun enau. Selain mengunakan oen meuria, terkadang untuk membuat atap menggunakan daun enau.
Peuleupeuk meuria (pelepah rumbia). Bahan ini digunakan untuk membuat dinding rumah, rak-rak, dan sanding.
3. Tahapan Pembangunan Rumah Rakit
Bagi masyarakat Aceh, membangun rumah bagaikan membangun kehidupan itu sendiri. Hal itulah mengapa pembangunan yang dilakukan haruslah memenuhi beberapa persyaratan dan melalui beberapa tahapan. Persyaratan yang harus dilakukan misalnya pemilihan hari baik yang ditentukan oleh Teungku (ulama setempat), pengadaan kenduri, pengadaan kayu pilihan, dan sebagainya. Oleh karena proses pembuatan Rumoh Aceh dilakukan secara cermat dengan berlandaskan kepada pengetahuan lokal masyarakat, maka Rumoh Aceh walaupun terbuat dari kayu mampu bertahan hingga ratusan tahun lamanya.
Bagi masyarakat Aceh, membangun rumah bagaikan membangun kehidupan itu sendiri. Hal itulah mengapa pembangunan yang dilakukan haruslah memenuhi beberapa persyaratan dan melalui beberapa tahapan. Persyaratan yang harus dilakukan misalnya pemilihan hari baik yang ditentukan oleh Teungku (ulama setempat), pengadaan kenduri, pengadaan kayu pilihan, dan sebagainya. Oleh karena proses pembuatan Rumoh Aceh dilakukan secara cermat dengan berlandaskan kepada pengetahuan lokal masyarakat, maka Rumoh Aceh walaupun terbuat dari kayu mampu bertahan hingga ratusan tahun lamanya.
Adapun tahapan-tahapan pembangunan Rumoh Aceh
adalah: (1) musyawarah, (2) pengumpulan bahan, (3) pengolahan bahan, dan
(4) perangkaian bahan. Tahapan paling awal untuk mendirikan Rumoh Aceh
adalah melakukan musyawarah keluarga. Kemudian dilanjutkan dengan
memberiatahukan rencana pendirian rumah tersebut kepada Teungku.
Tujuannya adalah untuk mendapatkan saran-saran tentang apa yang harus
dilakukan agar rumah yang dibangun dapat memberikan ketenangan,
ketenteraman, dan sejahtera baik lahir maupun batin kepada penghuninya.
Setelah mendapatkan saran-saran dari Teungku, dilanjutkan dengan
pengadaan bahan. Pengadaan bahan-bahan dilakukan secara gotong royong.
Kayu yang baik adalah kayu yang tidak dililiti akar dan apabila kayu
ditebang, rebahnya tidak menyangkut kayu yang lain. Kayu-kayu tersebut
kemudian dikumpulkan di suatu tempat yang terlindung dari hujan. Jika
waktu pembangunan masih lama, adakalanya bahan-bahan tersebut direndam
terlebih dahulu di dalam air, tujuannya agar kayu-kayu tersebut tidak
dimakan babuk.
Tahap berikutnya adalah mengolah kayu sesuai
dengan kegunaannya masing-masing. Setelah semuanya siap, maka dimulailah
pendirian Rumoh Aceh. Pendirian awal Rumoh Aceh ditandai dengan
pembuatan landasan untuk memancangkan kayu. Kayu yang pertama
dipancangkan adalah tiang utama (tiang raja) dan dilanjutkan dengan
tiang-tiang yang lain. Setelah semua tiang terpancang, dilanjutkan
dengan pembuatan bagian tengah rumah, yang meliputi lantai rumah dan
dinding rumah. Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan bagian atas rumah
yang diakhiri dengan pemasangan atap. Bagian terakhir pembangunan Rumah
Aceh adalah finishing, yaitu pemasangan ornamen pendukung seperti ragam
hias dan sebagainya.
4. Bagian-Bagian Rumoh Aceh
a. Bagian bawah
Bagian bawah Rumoh Aceh atau yup moh merupakan ruang antara tanah dengan lantai rumah. Bagian ini berfungsi untuk tempat bermain anak-anak, kandang ayam, kambing, dan itik. Tempat ini juga sering digunakan kaum perempuan untuk berjualan dan membuat kain songket Aceh.
Bagian bawah Rumoh Aceh atau yup moh merupakan ruang antara tanah dengan lantai rumah. Bagian ini berfungsi untuk tempat bermain anak-anak, kandang ayam, kambing, dan itik. Tempat ini juga sering digunakan kaum perempuan untuk berjualan dan membuat kain songket Aceh.
Tempat ini juga digunakan untuk menyimpan jeungki atau penumbuk padi
dan krongs atau tempat menyimpan padi berbentuk bulat dengan diameter
dan ketinggian sekitar dua meter.
b. Bagian tengah
Bagian tengah Rumoh Aceh merupakan tempat segala aktivitas masyarakat Aceh baik yang bersifat privat ataupun bersifat public. Pada bagian ini, secara umum terdapat tiga ruangan, yaitu: ruang depan, ruang tengah, dan ruang belakang.
Bagian tengah Rumoh Aceh merupakan tempat segala aktivitas masyarakat Aceh baik yang bersifat privat ataupun bersifat public. Pada bagian ini, secara umum terdapat tiga ruangan, yaitu: ruang depan, ruang tengah, dan ruang belakang.
* Ruang depan (seuramo reungeun). Ruangan ini disebut
juga Seuramou-keu (serambi depan). Disebut ruang atau serambi depan
karena di sini terdapat bungeun atau tangga untuk masuk ke rumah.
Ruangan ini tidak berkamar-kamar dan pintu masuk biasanya terdapat di
ujung lantai di sebelah kanan. Tapi ada pula yang membuat pintu
menghadap ke halaman, dan tangganya di pinggir lantai. Dalam kehidupan
sehari-hari ruangan ini berfungsi untuk menerima tamu, tempat
tidur-tiduran anak laki-laki, dan tempat anak-anak belajar mengaji. Pada
saat-saat tertentu misalnya pada waktu ada upacara perkawinan atau
upacara kenduri, maka ruangan ini dipergunakan untuk makan bersama.
* Ruangan tengah. Ruangan ini merupakan inti dari Rumoh Aceh, oleh
karenanya disebut Rumoh Inong (rumah induk). Lantai pada bagian ini
lebih tinggi dari ruangan lainnya, dianggap suci, dan sifatnya sangat
pribadi. Di ruangan ini terdapat dua buah bilik atau kamar tidur yang
terletak di kanan-kiri dan biasanya menghadap utara atau selatan dengan
pintu menghadap ke belakang. Di antara kedua bilik tersebut terdapat
gang (rambat) yang menghubungkan ruang depan dan ruang belakang.
Fungsi Rumoh Inong adalah untuk tidur kepala keluarga, dan Anjong untuk
tempat tidur anak gadis. Bila anak perempuannya kawin, maka dia akan
menempati Rumah Inong sedang orang tuanya pindah ke Anjong. Bila anak
perempuannya yang kawin dua orang, orang tua akan pindah ke serambi atau
seuramo likot, selama belum dapat membuat rumah baru atau
menambah/memperlebar rumahnya. Di saat ada acara perkawinan, mempelai
dipersandingkan di Rumoh Inong, begitu pula bila ada kematian Rumoh
Inong dipergunakan sebagai tempat untuk memandikan mayat.
* Ruang
belakang disebut seuramo likot. Lantai seuramo likot tingginya sama
dengan seuramo rengeun (serambi depan), dan ruangan ini pun tak
berbilik. Fungsi ruangan ini sebagian dipergunakan untuk dapur dan
tempat makan,dan biasanya terletak di bagian timur ruangan. Selain itu
juga dipergunakan untuk tempat berbincang-bincang bagi para wanita serta
melakukan kegiatan sehari-hari seperti menenun dan menyulam.
Namun, adakalanya dapur dipisah dan berada di bagian belakang serambi
belakang. Ruangan ini disebut Rumoh dapu (dapur). Lantai dapur sedikit
lebih rendah dibanding lantai serambi belakang.
c. Bagian atas
Bagian ini terletak di bagian atas serambi tengah. Adakalanya, pada bagian ini diberi para (loteng) yang berfungsi untuk menyimpan barang-barang keluarga. Atap Rumoh Aceh biasanya terbuat dari daun rumbia yang diikat dengan rotan yang telah dibelah kecil-kecil.
Bagian ini terletak di bagian atas serambi tengah. Adakalanya, pada bagian ini diberi para (loteng) yang berfungsi untuk menyimpan barang-barang keluarga. Atap Rumoh Aceh biasanya terbuat dari daun rumbia yang diikat dengan rotan yang telah dibelah kecil-kecil.
5. Ragam Hias
Dalam Rumoh Aceh, ada beberapa motif hiasan yang dipakai, yaitu: (1) motif keagamaan. Hiasan Rumoh Aceh yang bercorak keagamaan merupakan ukiran-ukiran yang diambil dari ayat-ayat al-Quran; (2) motif flora. Motif flora yang digunakan adalah stelirisasi tumbuh-tumbuhan baik berbentuk daun, akar, batang, ataupun bunga-bungaan. Ukiran berbentuk stilirisasi tumbuh-tumbuhan ini tidak diberi warna, jikapun ada, warna yang digunakan adalah Merah dan Hitam. Ragam hias ini biasanya terdapat pada rinyeuen (tangga), dinding, tulak angen, kindang, balok pada bagian kap, dan jendela rumah; (3) motif fauna. Motif binatang yang biasanya digunakan adalah binatang-binatang yang sering dilihat dan disukai; (4) motif alam. Motif alam yang digunakan oleh masyarakat Aceh di antaranya adalah: langit dan awannya, langit dan bulan, dan bintang dan laut; dan (5) motif lainnya, seperti rantee, lidah, dan lain sebagainya.
Dalam Rumoh Aceh, ada beberapa motif hiasan yang dipakai, yaitu: (1) motif keagamaan. Hiasan Rumoh Aceh yang bercorak keagamaan merupakan ukiran-ukiran yang diambil dari ayat-ayat al-Quran; (2) motif flora. Motif flora yang digunakan adalah stelirisasi tumbuh-tumbuhan baik berbentuk daun, akar, batang, ataupun bunga-bungaan. Ukiran berbentuk stilirisasi tumbuh-tumbuhan ini tidak diberi warna, jikapun ada, warna yang digunakan adalah Merah dan Hitam. Ragam hias ini biasanya terdapat pada rinyeuen (tangga), dinding, tulak angen, kindang, balok pada bagian kap, dan jendela rumah; (3) motif fauna. Motif binatang yang biasanya digunakan adalah binatang-binatang yang sering dilihat dan disukai; (4) motif alam. Motif alam yang digunakan oleh masyarakat Aceh di antaranya adalah: langit dan awannya, langit dan bulan, dan bintang dan laut; dan (5) motif lainnya, seperti rantee, lidah, dan lain sebagainya.
6. Nilai-Nilai
Wujud dari arsitektur Rumoh Aceh merupakan pengejawantahan dari kearifan dalam menyikapi alam dan keyakinan (religiusitas) masyarakat Aceh. Arsitektur rumah berbentuk panggung dengan menggunakan kayu sebagai bahan dasarnya merupakan bentuk adaptasi masyarakat Aceh terhadap kondisi lingkungannya. Secara kolektif pula, struktur rumah tradisi yang berbentuk panggung memberikan kenyamanan tersendiri kepada penghuninya. Selain itu, struktur rumah seperti itu memberikan nilai positif terhadap sistem kawalan sosial untuk menjamin keamanan, ketertiban, dan keselamatan warga gampong (kampung). Sebagai contoh, struktur rumah berbentuk panggung membuat pandangan tidak terhalang dan memudahkan sesama warga saling menjaga rumah serta ketertiban gampong.
Wujud dari arsitektur Rumoh Aceh merupakan pengejawantahan dari kearifan dalam menyikapi alam dan keyakinan (religiusitas) masyarakat Aceh. Arsitektur rumah berbentuk panggung dengan menggunakan kayu sebagai bahan dasarnya merupakan bentuk adaptasi masyarakat Aceh terhadap kondisi lingkungannya. Secara kolektif pula, struktur rumah tradisi yang berbentuk panggung memberikan kenyamanan tersendiri kepada penghuninya. Selain itu, struktur rumah seperti itu memberikan nilai positif terhadap sistem kawalan sosial untuk menjamin keamanan, ketertiban, dan keselamatan warga gampong (kampung). Sebagai contoh, struktur rumah berbentuk panggung membuat pandangan tidak terhalang dan memudahkan sesama warga saling menjaga rumah serta ketertiban gampong.
Kecerdasan masyarakat dalam menyikapi kondisi alam juga dapat dilihat
dari bentuk Rumoh Aceh yang menghadap ke utara dan selatan sehingga
rumah membujur dari timur ke barat. Walaupun dalam perkembangannya
dianggap sebagai upaya masyarakat Aceh membuat garis imajiner antara
rumah dan Ka‘bah (motif keagamaan), tetapi sebelum Islam masuk ke Aceh,
arah rumah tradisional Aceh memang sudah demikian. Kecenderungan ini
nampaknya merupakan bentuk penyikapan masyarakat Aceh terhadap arah
angin yang bertiup di daerah Aceh, yaitu dari arah timur ke barat atau
sebaliknya. Jika arah Rumoh Aceh menghadap ke arah angin, maka bangunan
rumah tersebut akan mudah rubuh. Di samping itu, arah rumah menghadap ke
utara-selatan juga dimaksudkan agar sinar matahari lebih mudah masuk ke
kamar-kamar, baik yang berada di sisi timur ataupun di sisi barat.
Setelah Islam masuk ke Aceh, arah Rumoh Aceh mendapatkan justifikasi
keagamaan. Nilai religiusitas juga dapat dilihat pada jumlah ruang yang
selalu ganjil, jumlah anak tangga yang selalu ganjil, dan keberadaan
gentong air untuk membasuh kaki setiap kali hendak masuk Rumoh Aceh.
Musyawarah dengan keluarga, meminta saran kepada Teungku, dan bergotong
royong dalam proses pembangunannya merupakan upaya untuk menumbuhkan
rasa kekeluargaan, menanamkan rasa solidaritas antar sesama, dan
penghormatan kepada adat yang berlaku. Dengan bekerjasama, permasalahan
dapat diatasi dan harmoni sosial dapat terus dijaga. Dengan mendapatkan
petuah dari Teungku, maka rumah yang dibangun diharapkan dapat
memberikan keamanan secara jasmani dan ketentraman secara rohani.
Tata ruang rumah dengan beragam jenis fungsinya merupakan simbol agar
semua orang taat pada aturan. Adanya bagian ruang yang berfungsi sebagai
ruang-ruang privat, seperti Rumoh Inong, ruang publik, seperti serambi
depan, dan ruang khusus perempuan, seperti serambi belakang merupakan
usaha untuk menanamkan dan menjaga nilai kesopanan dan etika
bermasyarakat. Keberadaan tangga untuk memasuki Rumoh Aceh bukan hanya
berfungsi sebagai alat untuk naik ke bangunan rumah, tetapi juga
berfungsi sebagai titik batas yang hanya boleh didatangi oleh tamu yang
bukan anggota keluarga atau saudara dekat. Apabila di rumah tidak ada
anggota keluarga yang laki-laki, maka ”pantang dan tabu” bagi tamu yang
bukan keluarga dekat (baca: muhrim) untuk naik ke rumah. Dengan
demikian, reunyeun juga memiliki fungsi sebagai alat kontrol sosial
dalam melakukan interaksi sehari-hari antar masyarakat.
Pintu
utama rumah yang tingginya selalu lebih rendah dari ketinggian orang
dewasa, sekitar 120-150 cm, sehingga setiap orang yang masuk ke Rumoh
Aceh harus menunduk, mengandung pesan bahwa setiap orang yang masuk ke
Rumoh Aceh, tidak peduli betapa tinggi derajat atau kedudukannya, harus
menunduk sebagai tanda hormat kepada yang punya rumah. Namun, begitu
masuk, kita akan merasakan ruang yang sangat lapang karena di dalam
rumah tak ada perabot berupa kursi atau meja. Semua orang duduk bersila
di atas lantai. Ada juga yang menganggap bahwa pintu Rumoh Aceh
diibaratkan hati orang Aceh. Memang sulit untuk memasukinya, tetapi
begitu kita masuk akan diterima dengan lapang dada dan hangat.
Pelaksanaan upacara baik ketika hendak mendirikan rumah, sedang
mendirikan, dan setelah mendirikan rumah bukan untuk memamerkan kekayaan
tetapi merupakan ungkapan saling menghormati sesama makhluk Tuhan, dan
juga sebagai bentuk ungkapan syukur atas rizqi yang telah diberikan oleh
Tuhan.
Dengan mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam Rumoh Aceh, maka kita akan mampu memahami dan menghargai beragam khazanah yang terkandung di dalamnya. Bisa saja, karena perubahan zaman, arsitektur Rumoh Aceh berubah, tetapi dengan memahami dan memberikan pemaknaan baru terhadap simbol-simbol yang digunakan, maka nilai-nilai yang hendak disampaikan oleh para pendahulu dapat terjaga dan tetap sesuai dengan zamannya.
Dengan mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam Rumoh Aceh, maka kita akan mampu memahami dan menghargai beragam khazanah yang terkandung di dalamnya. Bisa saja, karena perubahan zaman, arsitektur Rumoh Aceh berubah, tetapi dengan memahami dan memberikan pemaknaan baru terhadap simbol-simbol yang digunakan, maka nilai-nilai yang hendak disampaikan oleh para pendahulu dapat terjaga dan tetap sesuai dengan zamannya.
No comments:
Post a Comment
Semoga Artikell Kami Bermanfaat,,,,,,,,,, Jagan Lupa Langganan dan Membagikan,,,,,,,,,!